Senin, 18 November 2013

Ke Jogja Deh Kita!


Weekend gateway kali ini temanya Kondangan rekan kantor. Ke Jogja deh kita!

Perjalanan ini udah direncanain jauh-jauh bulan. Ya iyalah, pernikahannya juga udah direncanain jauh-jauh bulan juga kan? :p Banyak kendala sebelum perjalanan, dan bahkan saya terancam ga bisa ikut setelah jadwal perkuliahan keluar karena di tanggal itu jadwalnya UTS.Tapi kalau udah direstui sama yang di Atas pasti ada jalannya. Alhamdulillah, jadi juga liburan ke Jogja. xD



Kamis malam, saya dan teman-teman naik kereta ekonomi tujuan Jogja, berangkat dari stasiun Senen jam 10 malam. Tiba di lempuyangan jam setengah 6 pagi dan langsung dijemput oleh pak Ndori, supir kenalan teman yang sering jadi guide kalau dia jalan ke Jogja. Setelah mandi dan istirahat sebentar, pak Ndori langsung ajak kita jalan ke air terjun Sri Getuk. Sekitar jam setengah dua siang, akhirnya sampai di Air terjun Sri Getuk. Air terjunnya nggak terlalu istimewa sebetulnya. Tapi cukup menarik karena kalau naik rakit menyusuri sungai kita bisa melihat air-terjun-air terjun kecil (alami) sebelum akhirnya sampai di air terjun utamanya. Sekilas sungai dan tebing ini agak mirip sama Green Canyon. Sungainya dalam. FYI. :p

Lanjut jam tiga sore kita melanjutkan perjalanan ke pantai Ngobaran. Ini pantai super awesome! I wish I could spend all day in here! Pantainya nggak rame. Karena emang ga ada akses kesini, jadi ga banyak yang tahu. Subhanallah bagusnya. Saya dan teman tidak bermain di pantainya yang resmi, tapi di sebelahnya. Agak susah sih emang, musti turun lewat batu karang yang memang agak serem. Disini banyak cerukan karang yang berisi air. Banyak Bulu babi, bintang laut, keong laut, dan ikan-ikan kecil. xD
Ga tahan, akhirnya nyebur ke salah satu cerukan yang nggak terlalu dalem. Seru banget.


Nah, hari kedua baru kita kondangan ke daerah Bantul. Temen yang nikah ini adalah temen kantor dan juga temen deket dari jaman kuliah. Yep, dunia sesempit daun kelor. Semoga mereka sakinah dan berbahagia selamanya ya. Amin. :)
Selesai kondangan lanjut ke museum Ulen Sentalu. Ya ampun teduh banget disini. Selama di dalam museum nggak boleh ambil foto. Soalnya koleksi museumnya ini emang keren sih. Tapi di beberapa spot yang diijinkan kita bisa foto-foto kok.



Pulang dari Ulen Sentalu, lanjut makan malam di House of Raminten di daerah Ahmad Dahlan. Tempatnya Hipster abis! Dan emang sinting. Lebih sinting lagi pas lihat bill-nya. Huanjer murah banget harganya. Nasi liwet cuma tiga ribu perak. Nasi kucing dobel cuma empat ribu. :O
Keluar restoran kita geleng-geleng kepala saking gilanya.
Tapi mungkin emang lagi beruntung, pas kita dateng ga begitu antri. Pas keluar waiting roomnya penuh. Waiting list makin panjang.


Besokannya udah deh, belanja oleh-oleh dan muter2 malioboro. Sorenya udah musti ke stasiun lempuyangan lagi buat balik ke Jakarta. Bye Jogja!
Cintaku padamu tak pernah pudar. Mwah!

Sabtu, 22 Juni 2013

#BicaraMusik

If for each bit of gladness, 
Someone must taste the sadness
I'll bare the sorrow,
Let it be me

No matter what the price is,
I'll make the sacrifices
Through each tomorrow
Let it be me


Karena ternyata keyword yang sering nyangkut di blog ini adalah soal musik dan lagu perancis, jadi saya mau share lagu ini.

Si tu me condamne
Je t'aime, mon amour
Au court des flambers
Je n'ai peur rien

Jujur, Let it be me yang saya tahu semenjak kecil adalah versinya Everly brothers. Versi nancy sinatra ini saya baru denger beberapa bulan lalu. Cupu juga, uh?!
Saya ingat tiba-tiba saya rindu ayah saya dan saya ingat waktu kami menyanyikan lagu ini. Keluargaku dari dulu memang suka karaoke, btw. Mungkin karena saya mendengar di waktu yang tepat jadi saya merasa tertampar begitu mendengar bait pertama lagu ini. Musiknya saya hafal betul, tapi liriknya dan permainan emosi Nancy di lagu ini mampu mengehentikan kegiatan saya untuk kemudian mendengarkan lagu ini baik-baik.
Penyanyi yang baik dan sempurna adalah yang bercerita. Yang kisahnya mengalun bersamaan dengan musik. And in plus, kalau dia bisa membuatmu menghentikan apapun yang sedang kamu lakukan untuk mendengarnya dengan baik sampai akhir lagu. Dan itulah Nancy sinatra.

Dan ini versi Everly brothers


Sengaja saya kasih yang lengkap dengan lirik, untuk pembanding. Jelas dua lagu ini meski sama, tapi feel nya jauh berbeda. 

Mana yang kamu suka?

Disanalah, di Surabaya

Ini harusnya di post beberapa minggu lalu sih. Tapi nggak papa lah ya. :-D

Saya berkesempatan untuk menghabiskan weekend di Surabaya. Kenapa Surabaya, karena memang sudah lama sekali saya ingin kesana. Surabaya bisa menjadi perhentian pertama sebuah perjalanan seru. Dari sana kita bisa melanjutkan perjalanan ke Malang, atau Madura. Niat awal sih saya mau ke Madura. Menghabiskan waktu yang panjang sekalian menenangkan diri karena saya mau resign dari pekerjaan saya. Tapi begitulah hidup, kadang apa yang kamu rencanakan hari ini tidak benar-benar memungkinkan untuk kamu jalani sesuai waktu yang kamu inginkan. Bukan tidak bisa, tapi belum bisa. Shit happens, sometimes. Kehidupan memberi pilihan demi pilihan dan keputusan harus dibuat. Singkat cerita, rencana ke Madura harus ditunda dan saya hanya sempat mengunjungi kakak di Surabaya dan menghabiskan Sabtu yang seru bersama dia. That was good, and that's more than enough. :)

Sabtu, 20 April 2013

Sekelumit Sabtu

Aku sedang berada di sebuah kedai kopi Belanda di kawasan Bendungan Hilir. Ditemani segelas kopi Bon Bon dan potato fries dengan rasa yang unik. Samar mengalun lagu Phoenix - Long Distance Call di seluruh penjuru ruang. Jemariku sibuk mengetik. Kadang menulis dan mengguratkan sedikit sketsa untuk kebutuhan posting di blog sebelah. Keberadaanku disini diakibatkan oleh habisnya kuota modem ditengah kebutuhanku menyusun rumusan proposan skripsiku. Nah, ini.


Aku satu dari tiga mahasiswa yang belum mengajukan proposal skripsi. Aku tak ingin terlalu terburu-buru. Bukankah seharusnya memang begitu? Ini bukan hal sepele menurutku. Aku perlu merumuskan apa yang benar-benar kumaui sebelum masuk ke metodologi. Dan disinilah aku. Membaca beragam artikel. Mencari masalah untuk diteliti. Biasanya ketika suntuk aku akan menggambar. Tapi nampaknya mood menggambarku sedang kacau. Apa-apa yang kugambar nampak seperti kurcaci peyot dan garis-garis nampak seperti tali tua  nyaris putus. Jujur pikiranku sedikit kurang memang sedang kacau. Satu setengah jam lalu aku baru saja melepas pulang kakakku yang berkunjung ke Jakarta. Aku mengantarnya ke bandara dan memastikan dia masuk pintu terminal 1B yang dijaga oleh mas-mas muda berseragam abu-abu dengan topinya yang khas. Perbincanganku dengan dia tidak jauh-jauh. Seputar keluarga, seputar kisahku dan racauanku yang dia timpali dengan -kadang- bijak. Lalu aku mengatre taksi. Mengubah destinasiku tiga kali. dan lalu berganti armada karena taksi yg kumau terlalu lama datangnya. Membuat petugas taksi bandara itu cemberut. Kusampaikan maaf dalam hati yang jelas-jelas tak akan sampai juga padanya. Tapi biar. Lalu aku duduk di taksi dengan tenang. Terlalu tenang dan lalu aku tertidur. Tiba-tiba taksi sudah keluar tol dan masuk Pejompongan. Pak supir taksi membangunkan dan bertanya dimana persisnya aku turun. Dan disinilah aku.

Sudah berapa kali kubilang tadi? Ah abaikan. Ini bukan postingan. Lebih tepat disebut racauan. Kopiku baru kuminum sedikit. kentang masih sisa beberapa dan sudah tidak lagi hangat. jariku sibuk mengetik. Cepat. Secepat laju pikiranku. Cafe ini berangsur sepi. Anak-anak muda yang bergerombol didepanku sudah pergi. Begitu juga sepasang muda-mudi di ujung sana. Tak apa, semakin sepi semakin bagus. Aku suka sepi, karena toh pikiranku sudah terlalu berisik. Oiya, skripsi. Aku disini demi menyusun proposal skripsi. Aku disini mencari masalah dan membunuh Sabtu.

Lalu ada yg berkedip-kedip tak sabaran di taskbar. Semburat senyum samar terpancar dipenghujung senja.
Selamat Sabtu, siapapun kamu. Semoga senyum selalu menghias muka.

Minggu, 16 Desember 2012

Responsibility

"Be careful with what you are wishing." 

Itu kalimat terakhir yang dia katakan sebelum akhirnya kami deal yang ditandai dengan menjabat tangan satu sama lain. Siapa dia? Dia atasan saya sekarang. Iya, itu kalimat akhir saat wawancara. Sekarang, saya tahu kenapa dia menyampaikan itu.
Sekarang saya bekerja di sebuah advertising agency dengan rutinitas yang yaa.. kalian tahulah advertising itu bagaimana dan seperti apa ritme bekerjanya. Deadline yang ketat, ide yang dituntut untuk terus mengalir, informasi yang harus selalu segar, dada yang harus selalu membusung, pikiran yang harus selalu berlari, dan jiwa yang harus selalu siaga untuk menerima. Saya menyesal? Tidak sama sekali. Anggaplah saya sedang berlatih kung fu, dari seorang master yang sudah sering menjuarai kompetisi. Setiap cambukan bukan membuatmu lemah tapi justru makin tegak berdiri. Belajar, dan berlatih. Terus menerus.
Setiap keputusan ada konsekuensi. Inilah yang saya sadari betul. Dari awal saya tahu konsekuensinya. Tanggung jawab saja dengan keputusan yang saya ambil, in stead of menyalahkan keadaan dan keterlanjuran.

Damn, I love my bloody hell job and I cannot wait to see Monday!

Senin, 03 Desember 2012

Standar kenormalan


Pernahkah terpikir, apa sih standar normal itu?

Hari Minggu kemarin saya main ke Monas dengan niat membaca buku bareng. Saya melihat banyak keluarga 'utuh' dengan atribut piknik bertebaran disana sini, ada juga pasangan yang berjalan saling bergandengan tangan, beberapa ada yg sedang jogging, dan sebagainya. Tiba-tiba saya ingat seorang teman lama yang memiliki keterbatasan fisik dan kurang mampu. Satu pernyataan lugu yang saya ingat dari dia adalah:
Kalau jadi orang hebat terlalu susah, aku pengen setidaknya bisa normal seperti orang lain.

ces.

Saya peluk dia setelah dia menyampaikan itu. Tanpa mengatakan hal muluk seperti, "Aku tahu". Karena aku tidak tahu rasanya menjadi dia. Tapi kurang lebih saya merasakan hal yang sama dengan kata 'normal'. Yang kata orang-orang itu adalah level untuk minimal kita bisa diterima di suatu kalangan. Sedangkan tolak ukur normal itu ambigu. Normal bagi siapa?

Misal teman saya yang tuna rungu itu, dia dianggap tidak normal karena tidak bisa mendengar apa yang kita dengar. Padahal menurut saya dia pintar. Lebih pintar dari yang 'normal'. Dia bisa membaca gerak bibir dan mencernanya dengan cepat sehingga bisa berkomunikasi. Itu hebat. Tapi toh orang tetap melontarkan kalimat kasar seperti, "ah, kamu nggak bisa denger sih."
Ketabahan dia pun lebih dari orang 'normal'. Saya saja denger dia diejek rasanya pengen balas. Tapi dia justru balik bilang, "Ah aku nggak denger ini.." Ini sungguh menggelitik. Lalu dia memberi tahu saya pandangan dia tentang normal versi dia.

Dia kurang lebih menyampaikan bahwa, tuna rungu ini justru hal normal buat dia. Dulu sekali, dia pernah pakai alat bantu dengar. Kata dia itu menyiksa. Jauh lebih tenang buatnya ketika dia melepas alat bantu dengar itu. Dia sama sekali nggak terbebani dengan kondisinya. Itu membuat saya banyak berfikir.

Itu baru normal dari sisi fisik. Belum lagi definisi normal dari sisi behaviour, status masyarakat, dan ah banyak sekali hal yang perlu diluruskan tanpa bertumpu pada 'normal'.


Aku rasa juga tulisan ini sedikit kacau, karena pikiran saya sedang tidak pada normalnya.

Rabu, 28 November 2012

A Taste of Europe On a Screen


Festival film Eropa atau Europe on Screen tahun ini sangat menarik. Tahun kemarin tidak sempat menonton, tapi tahun ini akhirnya ada juga kesempatan untuk menyaksikan film-film hebat yg meraih banyak award. Keren? Pastinya. Apalagi acara ini cuman hadir sekali setahun. Acaranya sendiri dimulai dari tanggal 25 November sampai 1 Desember 2012. Jadi masih ada waktu sampai akhir pekan ini. xD


Saya memilih nonton di Goethe Institut, Menteng. Karena ya emang sering kesana dan hafal aksesnya. Film yg saya tonton hari itu ada dua, Salmon Fishing In The Yemen dilanjut dengan Declaration of War. Film yang dibintangi Ewan McGregor dan Emily Blunt ini mengusung cerita yang unik dengan beberapa unsur komedi. Film ini juga diangkat berdasarkan novel. Karena nggak mau spoiler, jadi cuma bisa bilang kalau ini film beneran baguss. Double s.


Film kedua Declaration of War. Film produksi Perancis ini diangkat dari kisah nyata, katanya. Untung ada subtitle english. Jadi nggak terlalu roaming. Inti ceritanya bagus sebenernya. Ada unsur satir disitu, karena memang sarat pesan moral. Walau di pertengahan film agak dragging. Keberadaan unsur musikal, membuat film ini justru nampak sedikit.. aneh. Tapi overall bagus. Aktornya ganteng. #eh :p
Oiya, festival film Eropa ini gratis lho. Masih ada waktu sampai tanggal 1 Desember nanti. Untuk daftar film, venue, dan jadwal bisa dilihat aja di website europeonscreen.org 

Mari menonton film yang 'beda'.