Minggu, 16 Desember 2012

Responsibility

"Be careful with what you are wishing." 

Itu kalimat terakhir yang dia katakan sebelum akhirnya kami deal yang ditandai dengan menjabat tangan satu sama lain. Siapa dia? Dia atasan saya sekarang. Iya, itu kalimat akhir saat wawancara. Sekarang, saya tahu kenapa dia menyampaikan itu.
Sekarang saya bekerja di sebuah advertising agency dengan rutinitas yang yaa.. kalian tahulah advertising itu bagaimana dan seperti apa ritme bekerjanya. Deadline yang ketat, ide yang dituntut untuk terus mengalir, informasi yang harus selalu segar, dada yang harus selalu membusung, pikiran yang harus selalu berlari, dan jiwa yang harus selalu siaga untuk menerima. Saya menyesal? Tidak sama sekali. Anggaplah saya sedang berlatih kung fu, dari seorang master yang sudah sering menjuarai kompetisi. Setiap cambukan bukan membuatmu lemah tapi justru makin tegak berdiri. Belajar, dan berlatih. Terus menerus.
Setiap keputusan ada konsekuensi. Inilah yang saya sadari betul. Dari awal saya tahu konsekuensinya. Tanggung jawab saja dengan keputusan yang saya ambil, in stead of menyalahkan keadaan dan keterlanjuran.

Damn, I love my bloody hell job and I cannot wait to see Monday!

Senin, 03 Desember 2012

Standar kenormalan


Pernahkah terpikir, apa sih standar normal itu?

Hari Minggu kemarin saya main ke Monas dengan niat membaca buku bareng. Saya melihat banyak keluarga 'utuh' dengan atribut piknik bertebaran disana sini, ada juga pasangan yang berjalan saling bergandengan tangan, beberapa ada yg sedang jogging, dan sebagainya. Tiba-tiba saya ingat seorang teman lama yang memiliki keterbatasan fisik dan kurang mampu. Satu pernyataan lugu yang saya ingat dari dia adalah:
Kalau jadi orang hebat terlalu susah, aku pengen setidaknya bisa normal seperti orang lain.

ces.

Saya peluk dia setelah dia menyampaikan itu. Tanpa mengatakan hal muluk seperti, "Aku tahu". Karena aku tidak tahu rasanya menjadi dia. Tapi kurang lebih saya merasakan hal yang sama dengan kata 'normal'. Yang kata orang-orang itu adalah level untuk minimal kita bisa diterima di suatu kalangan. Sedangkan tolak ukur normal itu ambigu. Normal bagi siapa?

Misal teman saya yang tuna rungu itu, dia dianggap tidak normal karena tidak bisa mendengar apa yang kita dengar. Padahal menurut saya dia pintar. Lebih pintar dari yang 'normal'. Dia bisa membaca gerak bibir dan mencernanya dengan cepat sehingga bisa berkomunikasi. Itu hebat. Tapi toh orang tetap melontarkan kalimat kasar seperti, "ah, kamu nggak bisa denger sih."
Ketabahan dia pun lebih dari orang 'normal'. Saya saja denger dia diejek rasanya pengen balas. Tapi dia justru balik bilang, "Ah aku nggak denger ini.." Ini sungguh menggelitik. Lalu dia memberi tahu saya pandangan dia tentang normal versi dia.

Dia kurang lebih menyampaikan bahwa, tuna rungu ini justru hal normal buat dia. Dulu sekali, dia pernah pakai alat bantu dengar. Kata dia itu menyiksa. Jauh lebih tenang buatnya ketika dia melepas alat bantu dengar itu. Dia sama sekali nggak terbebani dengan kondisinya. Itu membuat saya banyak berfikir.

Itu baru normal dari sisi fisik. Belum lagi definisi normal dari sisi behaviour, status masyarakat, dan ah banyak sekali hal yang perlu diluruskan tanpa bertumpu pada 'normal'.


Aku rasa juga tulisan ini sedikit kacau, karena pikiran saya sedang tidak pada normalnya.